When Love Hurt Your Heart

Sabtu tanggal 20 Januari kemarin adalah jadwal kelas parenting bersama Bu Fithrie yang keempat. Temanya masih sama, tentang komunikasi, yang berbeda adalah tanpa adanya materi. Jauh sebelum kelas dimulai, Bu Fithrie meminta anggota kelas untuk menulis tentang problematika yang ada antara kita dengan anak ataupun pasangan. Saya sangat antusias, tidak sabar menanti kelas ini berlangsung.
Manusia hanya bisa berencana, Allah yang memutuskan. Sesaat sebelum kelas berlangsung, saya bertengkar dengan Yusuf. Karena pertengkaran itu saya berniat untuk tidak jadi ikut, tapi hati kecil saya terusik. Akhirnya setelah mencuci muka, memakai bedak dan memasang topeng berwajah ceria saya berangkat ke rumah sebelah dimana kelas sedang berlangsung. Saya sudah tidak mau peduli lagi dengan Yusuf yang ketika bertengkar tadi bilang tidak mau hadir.
Beberapa teman tentu saja bertanya “Yusuf mana?” Saya menjawab dengan asal-asalan. Entah diserang zombie atau sedang pusing urusan kantor. Fokus dialihkn ke dalam suasana kelas yang sudah mulai panas karena pertanyaan demi pertanyaan mulai keluar. Saya pun mengecek gawai, hal-hal yang mau ditanyakan ke Bu Fithrie tercatat disitu. Kelas berlangsung cukup seru, tangis, tawa serta desahan kekhawatiran terdengar dimana-mana. Lalu, tetiba saya melihat sosok Yusuf datang, dia mengambil tempat diluar dan menolak ketika disuruh masuk ke dalam. Saya melengos, membuang muka.
Adazan dzuhur berkumandang, kelas di stop sementara untuk ishoma. Saya maju ke depan, hendak bertanya secara pribadi pada bu fithrie. Bagaimanapun, ada hal-hal yang rasanya memalukan bila ditanyakan langsung di depan kelas.
“Bu, kenapa saya ini tidak bisa memperlakukan anak-anak dengan cara yang sama? Maksud saya, kenapa emosi ini bisa memuncak dengan sangat mudah bila menghadapi Yuan, sebaliknya rasa marah susah muncul saat menghadapi ulah Luna? Yuan..Yuan bilang saya tidak adil, Yuan bilang kalau saya tidak sayang sama dia…Saya bingung bu, saya harus gimana?” Tanya saya. Hhh…membicarakan masalah anak tak ayal selalu membuat suara saya bergetar.
“Sebentar Ajeng, ini saya harus bertanya juga sama si Ayah, Ayahnya Yuan tolong kesini” bu fitrhie melambaikan tangannya, memanggil Yusuf. Tidak lama kemudian, orang itu pun mengambil tempat di sebelah saya, agak jauh sih, pokoknya antara saya dan dia ada jarak. Enggak sampai semeter tapi kok ya tetep aja berasa jauh. Saya acuh saja, toh kami sedang marahan ini.
“Baik, Ajeng masih ingat kondisi psikologis saat kamu hamil atau melahirkan Yuan?” Tanya Bu fithrie memulai diskusi.
Saya termangu mendengar pertanyaan Bu Fithrie
“Ibu punya kasus dimana ada ibu yang memperlakukan kedua anaknya secara berbeda. Setelah dicari, pangkal masalahnya ternyata saat melahirkan anak pertama, Ibu itu ditolak oleh mertuanya dan diperlakukan tidak baik oleh suaminya. Kalau ajeng bagaimana?”
Saya masih termangu.
“Ajeng belum bisa jawab? Nah ibu Coba tanya ke ayah, Ayah barangkali tahu kondisi Ajeng saat hamil dan melahirkan Yuan?” Beliau mengalihkan pertanyaan ke Yusuf.
Yusuf menekan hidung dengan telunjuk dan membetulkan letak kacamatanya sebelum menjawab “Sepertinya, ini tentang ketidakpuasan Ajeng saat hamil Yuan bu. Saat itu Ajeng ingin bekerja, tapi saya larang karena sedang hamil dan memang saya ingin dia dirumah saja dulu” jawabnya lugas.
Saya menunduk mendengar jawaban Yusuf. Ada perasaan aneh yang mulai merambati tubuh, mulai dari bawah ke atas dan berlanjut menghinggapi kedua bola mata, menyebabkannya terasa panas.
Ingatan saya terlempar ke masa lalu, mundur ke masa awal pernikahan. Ketika pesta pernikahan, momen dimana kami menjadi Raja dan Ratu sehari telah usai. Saya diboyong langsung ke kota tempat dia bekerja. Lalu dimulailah proses adaptasi dari mahasiswi berprestasi ke posisi istri rumah tangga. Saya yang biasanya sibuk kesana kemari mengerjakan ini-itu kini hanya dirumah saja. Di sebuah kota yang baru, tak ada teman untuk berbagi, tak tahu jalan,tak tahu apapun dan hanya menghadapi tembok yang sama setiap hari. Perubahan drastis ini dibarengi dengan Yusuf yang masih menggila main game-nya, dia tak bisa (atau tidak mau, entahlah) memahami rasa kesepian saya. Saya bosan karena setiap bangun pagi selalu bingung hari ini mau melakukan apa. Lalu mulai munculah suara-suara negatif dari dalam diri. Mari kita sebut saja rasa rendah diri, tak berharga, insecure plus tambahan komentar orang-orang diluar sana. Saya mah apa tuh? Hanya Ibu Rumah Tangga tanpa penghasilan yang tidak bisa dibanggakan dimana-mana. Maka ketika manis madu itu telah hilang, kami sering sekali bertengkar karena belum bisa berada dalam frekuensi yang sama.
“Apa yang dikatakan oleh Ayah itu betul Ajeng?”
Pertanyaan Bu fithrie menarik saya kembali dari lamunan masa lalu.
Sebelum menjawab, saya kembali teringat saat dimana pisah dari Yusuf untuk sementara waktu karena menjelang HPL (Hari Perkiraan Lahir) Yuan. Sejujurnya saat itu galau sekali antara mau lahiran di sana atau di Jogja. Yusuf memberi keputusan untuk lahiran di Jogja saja. Yawis, akhirnya kami bertemu hanya seminggu sekali. Di suatu kunjungan weekend saya meminta Yusuf untuk nonton ke bioskop, dia enggak mau, alasannya capek. Tentu saja saya kecewa, kesal sekali rasanya setiap kali ketemu kok hanya dihabiskan untuk tidur atau main game. Yusuf juga jarang mau ngobrol dengan saya, enggak tahu kenapa tapi kok sepertinya berbincang dengan saya tidak membuatnya nyaman. Sikap ini sangat berbeda jika dia berada bersama teman-temannya. Setelah penolakan nonton itu dia kembali ke Tulungagung. Di satu malam saya menelepon dia. Saya mendengar suasana yang agak ramai di telepon. Sebagai istri yang penasaran tentu saja saya bertanya dia sedang berada dimana. Lalu Yusuf dengan santai menjawab kalau dia sedang nonton bareng temen-temennya. Menonton film yang sama dengan yang ingin saya tonton. Sedetik setelah mendengar jawaban Yusuf, perasaan dingin dan kebas menyelimuti…
Betapa hancur hati saya saat itu, kecewa luar biasa. Istri minta ditolak, giliran teman yang mengajak diterima. Ya Allah..Saya menangis semalaman, menolak panggilan telepon yang datang berkali-kali dari dia. Sungguh betapa teganya Yusuf. Diri ini mati-matian menahan rindu karena tidak bertemu, mengkhawatirkan dia sudah makan atau belum, rumah terurus atau tidak. Ndilalah ternyata dia asyik-asyik saja disana, makan enak dan main game sepuasnya dan… hore-hore nonton bersama teman-temannya. Betapa saya merasa bahwa posisi sebagai Istri tak ada artinya di mata suami sendiri.
Saya menyeka aliran air mata yang mulai turun dengan derasnya “Saya sakit hati bu saat itu sama Yusuf…” jawab saya dengan bibir bergetar.
“Sakit kenapa Ajeng? Coba sini ceritakan sama ibu” lembut bu fithrie bertanya, sambil mendekat dan mengelus punggung saya.
“Waktu itu pernah saya keluar bersama Yusuf dan temannya. Ketika ngobrol-ngobrol temannya nyeletuk tentang tidak bergunanya pekerjaan ibu rumah tangga. Saya lulusan universitas bergengsi tapi ujung-ujungnya hanya di rumah….” saya mulai bercerita dengan perlahan-lahan.
“Temannya itu, dia…dia…dia tertawa bu,dia tertawa” Saya berhenti sejenak, menutup mata, mencoba mencari kekuatan untuk melanjutkan “Dan… dan yang paling menyakitkan adalah sikap suami saya ibu… Yusuf IKUT TERTAWA! Dia Ikut menertawakan saya!!”
Sampai disini saya tidak bisa menahan diri untuk menangis sesenggukan. Saya merasa kembali menjadi Ajeng di masa lalu. Ajeng yang rendah diri, Ajeng yang tidak ada artinya, Ajeng yang tidak cukup berharga untuk mendapatkan pembelaan. Saya merasa seolah kejadian itu baru saja terjadi kemarin, bukan bertahun-tahun yang lalu.
Bu fithrie memeluk saya. Erat.
“Hati saya patah saat itu juga. Sakit sekali melihat Yusuf tertawa. Tawa itu…tawa itu berarti dia setuju dengan pendapat temannya. Harga diri saya hancur lebur. Sudah saya dihina oleh temannya, dia malah ikut tertawa. Martabat saya seperti dijatuhkan dan diinjak-injak. Sakitnya luar biasa bu. Sakit sekali” saya tersedu-sedu sambil memilin-milin ujung jilbab, pundak saya berguncang menahan isakan, tak sanggup melanjutkan cerita.
“Iya ajeng, pasti sakit sekali ya..pasti luar biasa itu sakitnya. Ibu bisa merasakannya.” Gumam bu fithrie sambil terus mengusap-usap punggung saya. Hanya itu yang beliau lakukan, memeluk dan mengusap sambil menunggu tangis saya mereda.
Setelah membersit hidung dan menghapus sisa-sisa air mata, saya mendengar bu fithrie bertanya lagi.
“Apa yang Ajeng ingin Yusuf lakukan saat itu?”
Saya melirik sesaat ke arah Yusuf sebelum menjawab. “Saya…saya ingin Yusuf membela saya bu. Saya ingin Yusuf menyanggah perkataan temannya. Saya ingin Yusuf tegas mengatakan pendapatnya. Sebagai suami seharusnya dia melindungi ketika ada orang lain menghina dan merendahkan marwah saya”
“Padahal saya menjadi ibu rumah tangga itu karena permintaan dia bu! Karena dia yang meminta hal itu, tetapi di hadapan temannya yang menghina saya, dia malah ikut tertawa!!” Tambah saya dengan nada histeris.
“Saya ini pintar bu, saya mahasiswi berprestasi, cumlaude. Saat mengajar di China dulu saya terpilih menjadi pengajar terbaik. Lalu Yusuf datang, melamar , mengambil dan meminta saya untuk dirumah. Ya Allah, Itu permintaan maha berat bu! berat! Saya sudah mengorbankan banyak hal untuk dia, ijazah saya,kemampuan saya, keinginan saya untuk bekerja.Betapa berat bagi saya untuk menerima keputusan Yusuf. Tapi apa yang saya dapat? Di saat seperti itu bukannya memihak saya dia justru satu suara sama temannya. Dan ini masih belum termasuk bagaimana dia menyia-nyiakan saya dengan memilih bermain game terus-terusan” Cerocos saya . Persis seperti anak kecil yang sedang mengadu.
“iya, Saya yakin kamu pintar ajeng, terlihat sekali dari kecerdasan Yuan….” sahut Bu fithrie tenang.
Kembali air mata ini mengalir. Saya menumpahkan segala kekecewaan, kesedihan, rasa kesal dan amarah untuk yusuf yang begitu meluap pada momen itu dengan tangisan karena sudah tidak sanggup lagi untuk berkata-kata.
Dan Bu Fithrie terus saja memeluk saya.
“Yusuf, apa yang diceritakan Ajeng benar?” Tanya beliau.
Dengan pandangan buram karena tertutup air mata, saya melihat Yusuf mengangguk.
“Sudah pernah meminta maaf? Sudah pernah membicarakan hal ini sebelumnya?” Lagi, bu fithrie bertanya
“Sudah bu, saya juga sudah menjelaskan alasan kenapa ikut tertawa. Teman saya itu tipe yang tidak mau kalah, tidak mau didebat. Saya ikut tertawa karena tidak mau memperpanjang masalah. Tapi saya pernah menjelaskan ke teman saya tentang posisi Ajeng yang merupakan permintaan dari saya” jelas Yusuf singkat
“Benar Yusuf sudah meminta maaf? Nah, Ajeng marah kepada siapa? Yusuf atau temannya?” kini Bu Fithrie ganti bertanya kepada saya.
“Iya bu, Yusuf memang sudah meminta maaf, tapi tetap saja. Saya marah pada yusuf bu…dan juga pada temannya” lirih saya
“Kamu mau yang berubah Yusuf atau temannya?” bu Fithrie memperjelas pertanyaannya “Kamu terluka karena Yusuf tertawa atau karena perkataan temannya?”

Saya berpikir sejenak “Karena Yusuf tertawa bu..”
“Berarti kamu kecewa bukan karena perkataan temannya, tetapi karena Yusufnya?” Sekali lagi Bu Fithrie mencoba memperjelas pertanyaannya.
Saya mengangguk lemah. Bu Fitrhie melepas pelukannya dan menyuruh saya serta Yusuf untuk mendekat. Kemudian beliau memperbaiki sikap duduknya.
“Saya akan menasehati kalian dengan cara yang sama dengan saya menasehati anak saya yang seumuran dengan kalian.”
“Yusuf, ini luka..yang diderita Ajeng adalah luka… Dia terluka sekali loh dengan sikap kamu” terang Beliau sambil menunjuk saya.
Lalu berlanjutlah sesi itu, sesi dimana semua kenangan menyakitkan itu saya tumpahkan dan entah bagaimana Bu Fithrie sanggup menarik semua emosi yang tertinggal di dalam diri saya. Ajaibnya hal ini membuat perasaan saya lebih lega. Otot yang tadinya terasa tegang jadi mengendur, suara yang sebelumnya sarat dengan emosi makin menurun. Yang paling penting, pikiran saya menjadi lebih jernih. Singkat cerita, bisul yang telah tertanam selama bertahun-tahun itu akhirnya pecah.
Dalam kesempatan itu, suami saya juga mengeluarkan perasaannya. Yusuf mengatakan hal yang tidak dia sukai dari saya kepada Bu Fithrie. Tentang saya yang memperlakukannya dengan kasar secara verbal ketika sudah emosi.
“Apakah Ajeng selalu kasar setiap saat atau hanya pada saat marah saja?” Bu Fithrie kembali bertanya.
“Hanya saat dia emosi saja sih bu, tapi saya tidak suka dengan kekasaran kata-katanya.” jawab Yusuf sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Lalu bagaimana menurut kamu Ajeng yang tidak sedang dalam kondisi emosi?”
“Kalau sedang tidak marah, dia istri yang luar biasa”
Duh, betul-betul loh saat itu kami berdua saling mengeluarkan nanah masing-masing. Sebuah proses pengelupasan luka hati yang menguras emosi dengan luar biasa. Saya beryukur sekali yang menjadi penengah saat itu adalah Bu Fithrie.
“Yusuf, kamu tahu enggak kalau setelah menikah fokus seorang istri itu berubah? Dunianya bukan lagi tentang kampus atau ayah-ibunya, pusat dunia Ajeng saat ini adalah kamu. Setiap kata-kata, setiap perbuatan yang kamu lakukan itu berarti banget buat Ajeng”
“Maka dari itu ibu selalu mengingatkan, pemilik cinta itu adalah laki-laki, perempuan menerima. Ibu tahu kepribadian kamu plegmatis, tapi kamu perlu sesekali bersikap romantis. Kamu perlu menunjukkan kasih sayang kamu ke ajeng. Ibarat pohon yang layu kalau tidak disiram dan dipupuk. Begitu juga dengan Ajeng”
“Sebaliknya, Ajeng juga, tidak boleh itu berkata kasar ke suami. Perbaiki komunikasi kalian, Ajeng tahu kan bedanya marah dan marah-marah?”
“Tahu bu..” jawab saya lesu
“Yusuf, lukanya Ajeng ini tidak akan langsung sembuh. Ibu harap sekarang kamu bisa lebih paham cara menghadapi Ajeng. Tarik emosinya, keluarkan kekecewaannya lalu peluk. Peluk dia ya Yusuf, itu obat yang paling ampuh yang dibutuhkan Ajeng saat ini.”
Ehm, ketika membahas tentang hal peluk-memeluk ini kami berdua hanya lirik-lirikan. Dan saya mengalihkan pandangan duluan. Bagaimanapun, saya masih ragu untuk mendekat ke arah suami saya itu.
“Ibu paham sekali, paham sekali kalau mengendalikan emosi itu tidak mudah. Tapi ibu juga meyakini bahwa ketika kita sedang marah dan kita berusaha keras untuk mengingat kebaikan-kebaikan dari orang yang membuat kita marah, maka yang akan muncul dari pikiran kita adalah hal yang baik-baiknya saja”
“Ini yang perlu kita lakukan pada pasangan kalo kita sedang marah. Ingat-ingatlah kebaikannya, terus menerus sehingga segala keburukannya nanti akan kalah”
“Nah Yusuf, apakah kamu yakin kalau Ajeng adalah istri dan ibu yang baik?”
“Saya yakin bu”
“Baik, Ajeng apakah kamu yakin kalau Yusuf ini adalah suami yang baik?”
“…..”
“Ajeng, apakah kamu percaya sama Yusuf? Apakah kamu yakin Yusuf bisa dipercaya untuk menjadi tempat bersandar bagi kamu, Yuan, Luna dan Aylan?”
Saya melihat Yusuf sejenak, mencari sesuatu di dalam kedua bola matanya. Dan ya, saya menemukannya. Ada cinta di mata itu yang diberikan hanya untuk saya.
“Saya yakin Yusuf suami yang baik dan bisa dipercaya bu..” kata saya dengan keyakinan penuh.
Dan dengan itu, diskusi kami bertiga selesai karena waktu ishoma sudah hampir usai. Kami kembali ke rumah untuk makan dan sholat, belum ada sepatah kata pun yang keluar. Kami berdua masih terlalu sibuk dengan pikiran masing-masing tentang kejadian tadi.
***
Teman, menikah itu gampang, menjalani kehidupan pernikahan itu yang rumit. Dan berat. Catat ini, berats! Saya yakin Dilan saja tidak akan kuat. Ya bagaimana tidak rumit lha wong kita menyatukan dua orang yang berbeda pemikiran, latar belakang, kebiasaan dan perbedaan-perbedaan lainnya.
Dan teman, kalau pasangan kamu sering marah-marah entah sama kamu atau anak-anak diluar kontrolnya, coba cek lagi. Mungkin kamu pernah mengatakan sesuatu yang melukainya dan tidak meminta maaf sungguh-sungguh untuk itu?
Setelah hari dimana bisul itu terpecah rasanya seperti ada yang menekan tombol refresh dalam diri saya. Lega dan plong sekali. Perasaan itu kemudian berimbas positif kepada pola pengasuhan saya ke anak-anak. Entah bagaimana saya yang dulu begitu mudah tersulut emosi ketika melihat Yuan berulah sedikit saja sekarang bisa lebih woles. Pun dengan cara pengaturan nada yang biasanya selalu sepuluh oktaf lebih tinggi di waktu Yuan atau Luna bermasalah. Sekarang saya bisa meniru Yusuf untuk tetap bertahan pada nada yang sama bahkan ketika merasa kesal. Saya juga tidak lagi merasa sulit untuk menghindari tiga belas pola pengasuhan yang salah ala-ala jaman old tanpa rasa berat.
Perubahan yang sama juga terlihat sekali pada sosok the one and only teman tidur halal saya. Yusuf menjadi lebih lembut, lebih perhatian dan lebih….memahami cara bagaimana harus menghadapi perasaan saya. Tidak lagi saya temukan tanggapan “yaudah, gitu aja kok dipikirin” “udahlah ikhlasin aja” atau kalimat-kalimat pengabaian perasaan yang lain.
Pola komunikasi kami juga berubah cukup drastis. Ketika kesal atau marah kini saya akan tembak dia secara langsung.
“Ayah, aku marah nih. Marah banget”
Dan Yusuf akan datang menghampiri seraya memeluk dan berkata “Mama marah banget ya, maaf ya mah. Maafkan suamimu ini” kemudian dia ngesun pipi saya.
Hanya tindakan sederhana, namun kemarahan saya bisa langsung turun. Kami berdua bisa mengungkapkan perasaan masing-masing, menemukan miss dan mencari solusi.
Sangat berbeda dengan dulu, dimana saya merasa marah tapi tidak tahu bagaimana cara menyalurkannya. Kemarahan saya yang tidak ditanggapi membuat saya semakin menjadi-jadi. Yang saya lakukan hanyalah terus-menerus mengeluarkan kata-kata kasar, untuk menarik perhatiannya. . Pokoknya yang saya pikirkan hanya saya sakit hati dan itu artinya Yusuf juga harus merasakan sakit yang sama, titik! Bisa dibayangkan hasil akhirnya seperti apa? Yak betul,bukannya padam, kami berdua justru sama-sama tersulut. Di saat seperti itu rasa cinta yang pernah ada di antara kami sudah menguap dibakar api emosi. Sampai akhirnya yang tersisa hanyalah saya yang menangis, Yusuf yang marah dan anak-anak yang ketakutan melihat orang tuanya bertengkar. Keinginan egois saya terpenuhi: Yusuf tersakiti, begitu juga dengan anak-anak. Aih, betapa penyesalan selalu datang terakhir kawan…
Ya Allah, saya begidik sendiri kalo ingat pernah mangalami momen mengerikan kayak gitu, huhu.
Maka saya bersyukur banget, banget banget banget karena pernikahan kami masih dilindungi oleh Allah. Tak jarang saya menertawakan bagaimana rumitnya jalinan takdir. Kok bisa ya saya ketemu sama Bu Fithrie? Kok bisa ya saya ketemu dengan seseorang yang bisa saya percaya untuk menangani luka-luka masa lalu ?
“Luruskan niat mah, nawaitu untuk menikahi kamu sejak awal selain karena cinta kan memang untuk membentuk keluarga yang sakinah, mawadah dan rohmah” celetuk suami ketika kami sedang pillow talk membicarakan hal ini.
Mungkin ya, mungkin karena alasan itulah saya merasa kami berdua ndilalah selalu dipertemukan dengan orang-orang baik yang bisa membelajari kami. Yah, kita memang akan selalu ketemu dengan apa yang kita cari sih.
Kejadian bersama Bu Fithrie membuat saya merefleksi diri. Hampir enam tahun menikah tapi kok ya saya baru menyadari akhir-akhir ini betapa suami saya itu menginginkan hal yang sama dengan yang saya inginkan. Yusuf ingin dicintai, ingin dihargai, ingin diperlakukan dengan lembut, ingin diberi senyum ketika pulang dari kantor. Ah, betapa anehnya melihat bagaimana dua orang yang saling mencintai justru yang paling tidak sanggup saling memahami.
Dan betapa anehnya saat merasakan bahwa mereka yang kita cintai justru yang paling mampu menorehkan luka kepada kita. Sebaliknya, cukup satu kata pujian dari pasangan maka semangat kita akan membumbung terbang.
Luka masa lalu. Itulah benang merah perbedaan sikap saya ke Yuan dan Luna. Yuan hadir di saat masa adaptasi saya dan Yusuf sedang hancur-hancurnya. Saat kami masih saling terkaget-kaget dengan kepribadian masing-masing. Hubungan kami berdua di awal cukup penuh konflik. Lalu saya hamil. Kehamilan membuat kondisi tubuh rasanya nggak karuan, mulai dari nggak bisa makan, nggak bisa bangun, kepala pusing, nggak bisa mikir. Pun waktu itu saya tidak begitu memahami agama dengan baik, saya hanya berpegangan pada sesuatu yang rapuh bernama cinta. Dan cinta itu sempat pudar ketika dihadapkan dengan kenyataan hidup. Bayangan indah pernikahan sudah menghilang entah kemana, berganti dengan kepahitan.
Lain halnya dengan Luna.
Kehamilan Luna adalah kehamilan yang direncanakan. Karena sudah berpengalaman, saya merasa siap untuk hamil lagi. Saat itu kami sudah hampir empat tahun menikah. Kami pindah ke kota besar karena Yusuf lolos seleksi d4. Status dia yang dulu pegawai berubah jadi mahasiswa. Lalu saya mendapatkan kesempatan untuk bekerja sebagai guru TK dimana Yuan bersekolah. Iya saya bekerja karena situasi dan kondisinya mendukung. Lokasi sekolah sangat dekat dengan tempat tinggal, jam kerja hanya 07.00-12.00, mengajar adalah profesi yang memang amat sangat saya sukai dan yang paling penting Yuan boleh dititipkan di kelas Playgroup saat saya bekerja.
Untuk pertama kalinya dalam hidup, Yusuf merasakan bagaimana rasanya menjadi Bapak Rumah Tangga yang ditinggal bekerja. Kondisi rumah yang sepi, keharusan mengajak bermain anak, menjaga rumah dan hal-hal semacam itu lah. Dia jadi tahu bagaimana rasanya dicuekin ketika saya sedang sibuk atau memilih untuk kumpul-kumpul bersama teman-teman guru.
“Mah, aku ngerasa sepi juga’e kamu enggak ada di rumah” celetuk Yusuf suatu hari. Saya hanya membalasanya dengan dengusan.
Kesempatan untuk menyalurkan hasrat mengaktualisasi diri yang sudah terpuaskan ditambah proses melahirkan yang hampir merenggut nyawa membuat saya banyak-banyak bersyukur dengan kehadiran Luna. Dan saya tidak pernah menyangka kalau hal ini akan berefek pada perbedaan pengelolaan emosi saat mengasuh anak.
Ya Allah…
Qadarullah, alhamdulillah Allah memberikan jalan bagi saya untuk memperbaiki diri. Walaupun terdengar aneh tapi saya bersyukur hari itu kami berkonflik. Ketika bisul itu pecah dan nanah keluar rasanya memang sakit sekali, tapi ketika dihadapi hasilnya ternyata luar biasa. Membicarakan masa lalu yang menyakitkan memang tidak mudah. Tapi saat itulah kami justru bisa saling memperbaiki diri.
Ada masa dimana saya merasa sangat membenci Yusuf. Saya benci karena apa yang dia lakukan seolah menjebak saya dalam pernikahan. Ada masa dimana sulit sekali untuk melihat kebaikan-kebaikan yang Yusuf lakukan, bukti-bukti nyata betapa dia mencintai saya karena sudah trauma duluan. Namun, perlahan tapi pasti, saya mulai bisa berdamai dengan luka akibat kesalahan Yusuf yang lalu.
Harap dipahami ya teman-temanku sayang, kalau berdamai itu berbeda sekali dengan melupakan. Dari buku yang saya baca (karangan mbak Yunda Fitrian) melupakan itu belum tentu berdamai, sebaliknya berdamai pun belum tentu melupakan. Jika masa lalu dilupakan tapi tidak dimaafkan, berarti kita belum berdamai dengan masa lalu. Ini bisa memicu munculnya unfinished business yang mempengaruhi kehidupan sekarang dan masa depan. Ya seperti pengalaman saya di atas itu.
Apakah kini saya sudah berhasil move on?
Hmm.. saya agak sulit untuk menjawabnya. Gimana ya, lha saat menulis cerita ini saja saya berkali-kali menangis. Bolak-balik saya nge-WA ayahnya atau membicarakan kembali hal ini, dengan air mata karena masih terasa sakitnya. Tapi yang membuatnya berbeda, saya tidak lagi menghadapinya dengan kegetiran. Benar saya sakit, benar saya menangis, tapi dihadapan saya Yusuf si pelaku utama tidak menghilang, dia menghadapi saya, menemani saya untuk bersama-sama melawan rasa sakit itu. Jauh di balik wajahnya yang datar dan tanpa ekspresi saya tahu dia merasa bersalah dan khawatir melihat betapa besar efek perbuatannya pada saya. Itu cukup, sudah lebih dari cukup.
Sikapnya yang mau berjuang untuk memperbaiki keadaan adalah bukti kalau cinta itu ada. Dan hal itulah yang membuat cinta saya kepadanya kini justru semakin bertambah.
Terima kasih suamiku, ayah dari anak-anakku. Terima kasih untuk mau berjuang bersama-sama menjadikan hal ini berhasil. Thank you for keep staying with me in every madness situation. Aku tahu kamu tak sempurna, kamu pun tahu aku juga sama, terima kasih untuk tinggal dan membuatnya menjadi sempurna…

Masih adakah separuh hatiku

Yang kuberikan hanya untukmu

Ku harap engkau masih menyimpannya

Jangan kau pernah melupakannya

Maafkan kata yang t’lah terucap

Akan ku hapus jika ku mampu

Andai ku dapat meyakinkanmu

Ku hapus hitamku

Masih adakah separuh janjiku

Yang kubisikkan hanya padamu

Ku harap engkau masih mengingatnya

Jangan kau pernah melupakannya

Andai ku dapat memutar waktu

Semuanya tak kan terjadi

Ku hapus hitamku untukmu

(Andra and The Backbone – Hitamku)

img-20180120-wa00021021994090.jpg
Foto kelas terakhir kami. Di tengah yang menggendong Yuan adalah Bu Fithrie

Catatan penutup:

Alhamdulillah, terima kasih Ya Allah akhirnya tulisan ini bisa selesai juga. boleh percaya boleh tidak tulisan ini sudah mangkrak cukup lama, saya sendiri pernah merasa takut untuk melanjutkan. Takut kalau saya akan kembali lagi seperti dulu. Alhamdulillah lagi, Allah memberi kekuatan pada saya. Tulisan ini yang paling menguras emosi dibanding tulisan yang lain.

Qadarullah, hubungan saya, Yusuf dan anak-anak kini berubah ke arah yang lebih baik. Setelah kejadian itu, saya cukup optimis bisa menjadi Ibu yang bahagia untuk mereka, atas ijin Allah.

Perlu diketahui, ketika menuliskan hal ini batin saya berperang cukup lama, apakah tidak apa-apa membuka borok ke luar? Saya berkonsultasi dengan Yusuf, dia mengijinkan. Tujuan tulisan ini dibuat selain sebagai salah satu proses healing bagi saya juga untuk berbagi kisah dengan teman-teman lain yang barangkali memiliki masalah yang sama. Harapan untuk berubah itu ada kawan, sungguh!

Tulisan ini juga menjadi pengingat bagi saya dan Yusuf, juga peninggalan bagi anak-cucu kalau pendahulu mereka pernah bermasalah. Saya dan Yusuf, dua manusia penuh khilaf dan dosa. Inilah catatan bagaimana saya dan Yusuf berjuang untuk tetap teguh meraih kebahagiaan di dunia atas ijin Allah. Bila diibaratkan, kami sedang membangun sebuah rumah, muncul retakan disana-sini dan ini usaha kami untuk memperbaikinya.

Akhir kata, semoga bisa mengambil ibroh dari kisah kami berdua. salam sayang..

Terima kasih banyak untuk Ibu Safithrie Sutrisno, terima kasih untuk telah mengelem kami kembali bu.

Terima Kasih juga untuk mbak Yunda Fitrian karena telah menuliskan buku “Yakin dia Jodohmu?” very recommended guys!

Pondok Aren, 2 Februari 2018

14 thoughts on “When Love Hurt Your Heart

  1. Mba ajeng…bighug 🙂
    MasyaaAllah luarbiasa kekuatan dan tekadmu mba..
    Untuk menyelesaikan tulisan ini dan membaginya, InsyaAllah ada pahala jariyah yg akan terus mengalir. Sebab akan ada banyak orang yg belajar dari pengalaman mba ajeng 🙂
    Keep writing n sharing yaa mba 🙂 like this very much

    Like

  2. Ahhh….. Peluk peluk peluk….. Kita saling bergandengan yaa… Kita sama² belajar + berubah ke arah yg lbh baik lagi ya.
    Kamu hebat! Kamu kuat! Kamu bisa!
    Buktinya tulisan ini selesai dan kamu sanggup membaginya dengan orang lain. Ini nggak sembarangan.
    Semoga diri yang hina dina ini bisa ketularan hebatnya dirimu, kuatnya dirimu ya, Bu.. 😘😘

    Like

  3. Uwoowww… permasalahan suami istri awal nikah qiqiqiqiq sama mbak sama kok. Makanya kebawa di Key lho. Pas hamil dia aku buanyak ngambeg sama papanya yg lbh suka main PS di kamar sebelah drpd meluk istrinya yg hamil 🤣

    Tp aku emang kalau marah tipe yg ngomong. Walau ngmgnya via wa panjang lebar kali tinggi. Intinya biar gak mendem. Jd paksu tau akunya marah. Apalagi skg. Aku lgsg diem masuk kamar dah tau itu marah trus mulai ngerayu 😆

    Btw itu kelas parenting apa? Ih seru kayaknya ngajak suami jg ikut kelas begitu.

    Like

  4. Wah Mba Ajeng, aku bacanya sampai menitikkan air mata. Soalnya kerasa banget nulisnya dari hati maka sampai pula ke hati #eaaaa. Jadi, bikin aku semakin bersyukur dan berterima kasih pada suamiku 😍

    Like

  5. Subhanallah jeng..tulisanmu.. memang benar rumah tangga itu hny manis di depan..apalagi mwnghdpi tipikal suami yg seakan2 pny dunia sndri. Mmpunyai kkuatan utk berbagi pengalama dgn isteri2 atau ibu2 subhanallah bgt.. setidkny mmbca tulisanmu itu mmberi pencerahan bagi polemik rumah tangga2 para ibu n isteri yg sedang dihadapi

    Like

    • masya allah yun, makasih sudah mau meninggalkan jejak disini. aku sangat wow dengan tanggapan teman-teman, rerata memiliki masalah yang sama. semoga semua bisa istiqomah dalam mencapai pernikahan bahagia dunia dan akhirat yaa

      Like

Leave a comment